Beranda Nasional Kisah Briptu Hikma, Polwan Satlantas Polres Bantul yang Jadi Pasukan Perdamaian PBB di Afrika

Kisah Briptu Hikma, Polwan Satlantas Polres Bantul yang Jadi Pasukan Perdamaian PBB di Afrika

oleh korlantas

KORLANTAS POLRI – LULUS SMA pada 2012, Briptu Hikma Nur Syafa resmi menjadi polisi wanita (polwan) pada tahun 2013. Berangkat dari doa dan pengharapan sang ibu, karir perempuan 27 tahun ini terbilang mulus.

Namun siapa sangka, perempuan yang akrab disapa Ima ini, pernah dihadapkan pada pilihan sulit dalam berkarir. Sebelum menimba ilmu di Lembaga Pendidikan Polri Sekolah Polisi Wanita, Ima duduk sebagai mahasiswa jurusan pariwisata di Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Waktu itu sudah kuliah. Ragu, mau lanjut ke polwan atau enggak,” ungkapnya, Jumat (20/8).

Namun, sang kakak yang juga berprofesi sebagai polwan, turut memotivasi Ima. Akhirnya, bungsu dua bersaudara ini memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di UGM. Lantas memilih sebagai abdi negara dengan menjadi seorang polwan.

“Waktu itu, pendidikan selama tujuh bulan di Jakarta tahun 2013, selesai bulan Desember,” kenangnya.

Pasca dinyatakan lulus, perempuan asli Bantul ini ditugaskan untuk pertama kali di Polda DIJ. Kemudian mendapat penempatan di Gunungkidul dengan masa tugas sekitar tiga tahun. Sempat jadi anggota Satuan Sabhara, Ima lantas dipindahkan ke Satlantas.

“Di sana, passion untuk mengabdi di lalu lintas makin tumbuh. Dari situ, sampai sekarang masih diberi amanah untuk jadi polisi lalu lintas,” bebernya yang kini bertugas sebagai anggota Satlantas Polres Bantul sejak 2017 itu.

Mulai dari sini, karir fans Dian Sastro ini mulai terpancar. Cita-citanya untuk dapat keluar negeri mulai digalinya kembali. Namun, dengan cara yang berbeda dari dunia pariwisata. Ima meloloskan namanya dalam daftar 14 polwan dari 140 polisi, untuk dikirim sebagai peacekeeper atau penjaga perdamaian Formed Police Unit (FPU) PBB.

“Itu awalnya nggak nyangka dan ini jadi pencapaian terbesarku,” ucapnya.

Tugas itu diembannya selama 15 bulan di wilayah Bangui di Afrika Tengah. Sebagai pasukan pertama yang baru dikirim di daerah ini, ternyata Ima dan rekan-rekannya pun mengalami kesulitan. Utamanya terkait bahasa.

“Ternyata di sana menggunakan Bahasa Prancis. Sementara kami basic-nya Bahasa Inggris. Akhirnya semua diwajibkan untuk sekolah bahasa Perancis,” paparnya.

Selain mendapat pembekalan bahasa, pasukan yang dikirim pun mendapat tempaan fisik. Alih-alih memberatkan, pengalaman selama di Bangui sebagai peacekeeper justri pikiran Ima. Meluaskan makna pengabdian bagi seorang polwan.

“Sekarang cita-cita pengen banget bisa sekolah di luar negeri. Pokoknya internasional,” sebutnya.

Perempuan yang kini aktif melakoni gaya hidup sehat dengan rajin olahraga dan menjaga asupan makan ini tetap ingin mengabdi. Namun ranahnya meluas, jadi internasional.

“Pengennya bisa mengabdi sampai ranah internasional. Setelah pikiran terbuka, aduh dunia ini luas banget. Kenapa tidak mengeksplorasi. Gimana keadaan orang di luar sana,” jelasnya.

Related Articles